Minggu, 24 Mei 2009

Sistem Religi dalam Sinrilik

Kepercayaan atau religi adalah kepercayaan kuat yang dianut atau diyakini oleh suatu komunitas dalam berinteraksi dengan alam sekitarnya. Menurut Koentjaraningrat (1990), ada tiga orientasi sistem kepercayaan atau religi, yaitu (1) berhubungan dengan keyakinan religi atau emosi keagamaan, (2) berhubungan dengan sikap manusia terhadap alam gaib, dan (3) berhubungan dengan upacara religi. Sesungguhnya, ketiga hal tersebut saling terkait dengan sistem kepercayaan atau religi yang timbul dari emosi keagamaan, yaitu getaran spiritual atau batin manusia yang mendorong tindakan atau perilaku budaya spiritual yang bersifat sakral. Emosi keagamaan sangat terkait pula dengan sistem keyakinan, seperti kepercayaan pada roh halus, roh leluhur, dewa, dan sebagainya. Emosi keagamaan juga berhubungan dengan upacara ritual, seperti sesajian, doa, mantra, azimat, ilmu hitam, semedi, dan sebagainya.

Berdasarkan hasil identifikasi dan interpretasi makna nilai kemanusiaan dalam sinrilik yang berkaitan dengan konteks sistem kepercayaan atau religi, ditemukan makna


yang meliputi (1) doa dan mantra, dan (2) tafsir mimpi. Berikut ini penjelasan masing-masing makna dalam konteks sistem kepercayaan atau religi yang terdapat dalam cerita sinrilik.

1. Doa dan Mantra

Doa dan mantra merupakan salah satu media ekspresi emosi keagamaan dan upacara ritual. Sebagai media ekspresi emosi keagamaan, doa dan mantra diwujudkan dalam bentuk tindakan atau perilaku budaya spiritual yang dapat memberi sugesti dalam melakukan suatu perbuatan atau tindakan. Doa dan mantra dijadikan perantara atau mediasi dalam menyampaikan keinginan kepada sesuatu hal yang dianggap memiliki kekuasaan untuk mengabulkan permohonannya. Sebagai upacara ritual, doa dan mantra dijadikan pengiring dari persembahan kepada zat yang Maha tinggi berupa sesajian agar apa yang diinginkan dapat diterima dan direstui.

Dalam cerita sinrilik ditemukan tindakan dan perilaku para tokoh cerita dalam mengekspresikan emosi keagamaannya. Ekspresi emosi keagamaan itu, diimplementasikan dalam wujud pembacaan doa dan mantra. Ketika I Makdik Daeng Rimakka akan menuju ke medan laga pertempuran, ia mengadakan ritual dengan membaca doa dan mantra sebagaimana terdapat dalam teks cerita Sinrilik Makdik Daeng Rimakka pada kutipan berikut.

(1) Sallo-salloi sikekdek, mammen-temmi pole antapesangi soena, ampadakkai bangkenna, tulusukmi mange ri bangkenna sapanaya, na nabacamo doanganna, doangang patampuloa, napalampa doangang leleubundukna, aklumpakmi naik ri jaranna, battui naik ri jaranna, na nagenggomi balembeng sala la reppek, na ramma pangulu sala la tepok, na tenreng-tenreng pokena, nagalattak biberekna sala la tappuk, ana natempa barambang sala la keppok, ana nabannya pallagesang sala le tepok….

Terjemahan

(1) Tak seberapa lamanya berdiri lagi mengayunkan tangannya selangkahkan kakinya, teruslah pergi ke kaki tangga beranyam, maka dia bacalah doanya, doanya yang empat puluh, diucapkan doa perangnya, melompatlah dia ke atas kudanya, sampai di atas kudanya, maka dia goncanglah sarung kerisnya seolah-olah akan patah, dia ayunkan tombaknya, dia gigit bibirnya seolah-olah putus, dia tepuk dadanya seolah-olah akan kepik, dia tegangkan lengan bawahnya seolah-olah akan patah….

Setelah selesai membaca doa perang, I Makdik Daeng Rimakka menguatkan tekad dan niat dengan melakukan tindakan atau perbuatan dengan mengencangkan sarung kerisnya, mengayungkan tombaknya, menggigit bibirnya, dan menegangkan lengan bawahnya. Membaca doa dan mantra tidak hanya dilakukan kala ingin berperang, tetapi juga dilakukan saat hendak bepergian. Ketika I Manakkuk mau berlayar mengunjungi I Marabintang Kamase di tanah Lakbakkang, ia tidak lupa membekali diri dengan doa dan mantra. Hal ini terdapat dalam kutipan cerita Sinrilik I Manakku berikut.

(2) Na nabacamia naung kodong, doanganna sipak appaka, eranna patampuloa, nipamae ri sekrea….

Terjemahan

(2) Dia bacalah doa[nya] sifat yang empat, bawaan [ilmu] yang empat puluh, ditujukan [ditempatkan] kepada yang satu….

Sebagai seorang pemberani, perjalanan I Manakkuk tidak hanya dibekali dengan perlengkapan, seperti tombak, somrik (semacam keris), dan bedil, tetapi juga dibekali dengan doa dan mantra. Doa dan mantra yang dibacanya dilengkapi dan dipermantap dengan perilaku, seperti ia menggeggam sepuluh jarinya, menggenggam tangannya sebelah- menyebelah dan menggenggam kakinya sebelah-menyebelah. Setelah itu, ia lalu memasang cincin di jarinya dan memasang kalung di lehernya.

Sebelum menuju medan laga, para pemberani (tubarani) kerajaan tidak akan gegabah berangkat tanpa persiapan yang matang karena mereka khawatir menemui kegagalan kalau tidak melakukan persiapan fisik dan batin. Para pemberani memiliki kepercayaan tentang keampuhan doa dan mantra dalam menghadapi suatu pertarungan atau peperangan. Jadi, mereka tidak akan berangkat ke medan pertempuran kalau tidak membaca doa dan mantra sebagai ajian. Dalam cerita Sinrilik Kappala Tallu Batua, dikisahkan bagaimana persiapan yang dilakukan para pemberani kerajaan Gowa, seperti tergambar pada kutipan berikut.

(3) Naukrangi ngaseng tommi tarimana ri Gurunna sossoranna ri towana, appaka tenasisaklak, tallasak tenamatea. …

Terjemahan

(3) Diingatnyalah semua yang pernah diterima dari gurunya, ajaran dari kakeknya, appaka tenasisaklaktallasak tena mate [hidup takkan pernah mati].… [empat yang tidak pernah terpisahkan],

Dalam kutipan (3) tersebut digambarkan persiapan para pemberani sebagai pasukan terdepan Karaeng Tunisombaya. Mereka melakukan meditasi, mengingat ajian (mantra), menyatukan sifat kehidupan dalam dirinya, dan membaca ilmu kekebalan. Sesudah itu, mereka membaca doa dan mantra sebagaimana terdapat dalam kutipan (4). Para pemberani juga dibekali ajian yang diterima dari kakek atau leluhurnya. Ajian itu, antara lain terdapat pada kutipan berikut.

(4) Ratunna mappua­lia, tanabotowa lila, tanakakdoka kalengkeng, akgauk tanigauki, napannyombanga buaja salapang bawa binanga….

Terjemahan

(4) Rajanya yang berkata, ratunya yang menyahut, tidak tersentuh lidah, tidak termakan fitnah, bertindak tidak ditindaki, disembah oleh buaya di sembilan buah sungai…

Frase appaka tenasisaklak ‘empat yang tidak pernah terpisahkan’ bermakna bahwa ada empat sifat (istilah lain sipappa ‘sifat empat’) yang saling menyatu dalam diri manusia, yaitu sifat yang dimiliki oleh tanah, air, udara, dan api. Ada pula yang mengaitkan sifat empat dalam sistem arah mata angin, yaitu utara, selatan, timur, dan barat. Frase tallasak tena mate ‘hidup takkan pernah mati’ bermakna semangat dan keberanian tetap harus terpatri dalam jiwa dan batin.

Dalam rapang, Arung Matoa atau lebih dikenal dengan nama Matinroa ri Kananna pernah berwasiat kepada anaknya. Isi wasiat itu adalah sebagai berikut.

(5) … Naia antu nawa-nawaya patambuangi arenna: Uru-uruna, nawa-nawa pepek arenna; mkaruanna, nawa-nawa jeknek arena; makatalunna, nawa-nawa anging arena; makaappakna nawa-nawa butta arena. Naia nawa-nawa pepeka lompoi gaukna na tanacinika bokona, teai nisauruk ri sangkammanna iamami angkana kalenna annaba gaukna annaba tangarakna, lakbu nwa-nawana, barani. Naia nawa-nawa anginga, akgauk magassingi na taia lambusuk nakimbolong. Naia antu nawa-nawa buttaya lambusuki na manngasseng

Terjemahan

(5) … Cita-cita itu mempunyai empat nama: pertama, cita-cita api (nawa-nawa pepek); kedua, cita-cita air (nawa-nawa jeknek); ketiga, cita-cita angin (nawa-nawa anging); keempat, cita-cita tanah (nawa-nawa butta). Yang dimaksud dengan cita-cita api ialah banyak berbuat tetapi tidak memperhitungkan akibat-akibatnya; selalu ingin bersaing dan tidak mau kalah; hanya pandangan dan tindakannya saja yang dianggap benar sedangkan yang lainnya salah semua. Di samping itu, mempunyai sifat pemberani dan panjang perhitungan. Yang dimaksud dengan cita-cita air ialah mempunyai kecakapan tetapi tidak dilandasi dengan kejujuran. Yang dimaksud dengan cita-cita angin ialah banyak berbuat tetapi tidak didukung oleh sifat kejujuran. Sedangkan yang dimaksud dengan cita-cita tanah ialah memiliki sifat kejujuran tetapi tidak ditunjang oleh ilmu pengetahuan (kecakapan)

2. Tafsir Mimpi

Bagi masyarakat Makassar, mimpi tidak semata sebagai perhiasan tidur, tetapi dipercaya pula bahwa mimpi merupakan suatu pertanda baik atau buruk yang akan dialami oleh orang yang bermimpi. Masyarakat Makassar masih banyak yang percaya bahwa kalau seseorang bermimpi giginya tanggal semua, maka segala urusan atau pekerjaan yang dilakukan tidak akan berhasil. Begitu pula jika seorang bermimpi sedang memanjat bukit atau gunung, kalau berhasil mencapai puncak berarti semua urusan atau pekerjaan akan sukses. Sebaliknya, kalau jatuh atau terperosok masuk ke jurang berarti semua urusan atau pekerjaan akan gagal. Jika seorang dimangsa ular atau binatang buas lainnya, maka dipercayai sebagai pertanda orang itu akan ditimpa suatu musibah atau bakal mengalami kecelakaan.

Dari hasil identifikasi dan intepretasi cerita sinrilik, hanya teks cerita Sinrilik Makdik Daeng Rimakka yang mengekspresikan adanya kepercayaan terhadap mimpi. Hal tersebut dikemukakan dalam kutipan berikut.

(6) Nabangungammi ulunna ayana anrong kalenna. tanasakringami tukguruk jekne matanna, antuju matai Makdik Daeng Rimakka na nakana pakkananna, "La aklampa tojengko paleng angge, kodi-kodi nakke tinroku, kusoknai anne polong rua bu-bungangku, sasarak anrong tukakku, napakrukmungi kariuk tannga ballaku, napassakrai ronrong balu ganturoku.”

Terjemahan

(6) Ditegakkanlah kepalanya, ibunya bunda kandungnya, tidak terasalah menitik air matanya memandang I Makdik Daeng Rimakka, lalu berkata, "Sungguh engkau akan berangkat anak, sungguh jadi kemasanmu, saya ini anak, tidak enak tidurku, saya mimpikan patah dua bubunganku, rubuh induk tanggaku ditempati bersarang burung hantu, ditempati bersarang burung hantu tengah rumahku, ditempati berbunyi ronrong balu [nama semacam burung] susuran atapku, "

Kutipan (6) mengisahkan kerisauan hati ibunda I Makdik Daeng Rimakka terhadap mimpinya. Kata polong ‘patah’, sasarak ‘rubuh’, sakrak ‘bunyi’ merupakan pertanda akan datang suatu musibah atau bencana. Masyarakat Makassar masih mempercayai bahwa burung hantu erat kaitannya dengan kematian. Ketika pada malam hari, bertengger di atas bubungan rumah sembari berbunyi atau mengeluarkan suaranya dipercayai sebagai pertanda bahwa salah satu penghuni rumah yang ditempati bertengger burung hantu itu akan meninggal dunia. Dari kutipan (6), dapat ditafsirkan bahwa I Makdik Daeng Rimakka akan menemui ajalnya di medan laga. Pertanda itu diperkuat oleh mimpi I Mulli Daeng Massayang seperti tertera pada kutipan berikut.

(7) Nagilimmami kalenna I Mulli Daeng Massayang, nanakana pakkananna, "Inakke kodi tonji anne tinroku Makdik, tikring kucinikmi nisoklok akba siringku, mammanyuk taring, tanngaku, kucinik tongi tukguruk pannangarangku, pepu ngaseng rakba ngaseng.”…

Terjemahan

(7) Berbaliklah I Mulli Daeng Massayang yang lalu ia berkata, “Saya juga tidak baik tidurku Makdik, tiba-tiba saya lihat ditembus banjir kolong rumahku, hanyut tungku tengahku, kulihat juga jatuh gigi depanku, gugur semua, rebah semua." ….

Istri kesayangan I Makdik Daeng Rimakka juga bermimpi. Meski berbeda dengan konteks mimpi ibunda I Makdik Daeng Rimakka, I Mulli Daeng Massayang bermimpi buruk. Kata nisoklok ‘tembus’, mammanyuk ‘hanyut’, dan tukguruk ‘jatuh’ merupakan pertanda akan datang suatu musibah atau bencana. Sementara kata akba siring ‘kolong rumah’, taring tanga ‘tungku tengah’, dan pannangarang ‘gigi’ merupakan sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-hari.