Minggu, 24 Mei 2009

Sistem Religi dalam Sinrilik

Kepercayaan atau religi adalah kepercayaan kuat yang dianut atau diyakini oleh suatu komunitas dalam berinteraksi dengan alam sekitarnya. Menurut Koentjaraningrat (1990), ada tiga orientasi sistem kepercayaan atau religi, yaitu (1) berhubungan dengan keyakinan religi atau emosi keagamaan, (2) berhubungan dengan sikap manusia terhadap alam gaib, dan (3) berhubungan dengan upacara religi. Sesungguhnya, ketiga hal tersebut saling terkait dengan sistem kepercayaan atau religi yang timbul dari emosi keagamaan, yaitu getaran spiritual atau batin manusia yang mendorong tindakan atau perilaku budaya spiritual yang bersifat sakral. Emosi keagamaan sangat terkait pula dengan sistem keyakinan, seperti kepercayaan pada roh halus, roh leluhur, dewa, dan sebagainya. Emosi keagamaan juga berhubungan dengan upacara ritual, seperti sesajian, doa, mantra, azimat, ilmu hitam, semedi, dan sebagainya.

Berdasarkan hasil identifikasi dan interpretasi makna nilai kemanusiaan dalam sinrilik yang berkaitan dengan konteks sistem kepercayaan atau religi, ditemukan makna


yang meliputi (1) doa dan mantra, dan (2) tafsir mimpi. Berikut ini penjelasan masing-masing makna dalam konteks sistem kepercayaan atau religi yang terdapat dalam cerita sinrilik.

1. Doa dan Mantra

Doa dan mantra merupakan salah satu media ekspresi emosi keagamaan dan upacara ritual. Sebagai media ekspresi emosi keagamaan, doa dan mantra diwujudkan dalam bentuk tindakan atau perilaku budaya spiritual yang dapat memberi sugesti dalam melakukan suatu perbuatan atau tindakan. Doa dan mantra dijadikan perantara atau mediasi dalam menyampaikan keinginan kepada sesuatu hal yang dianggap memiliki kekuasaan untuk mengabulkan permohonannya. Sebagai upacara ritual, doa dan mantra dijadikan pengiring dari persembahan kepada zat yang Maha tinggi berupa sesajian agar apa yang diinginkan dapat diterima dan direstui.

Dalam cerita sinrilik ditemukan tindakan dan perilaku para tokoh cerita dalam mengekspresikan emosi keagamaannya. Ekspresi emosi keagamaan itu, diimplementasikan dalam wujud pembacaan doa dan mantra. Ketika I Makdik Daeng Rimakka akan menuju ke medan laga pertempuran, ia mengadakan ritual dengan membaca doa dan mantra sebagaimana terdapat dalam teks cerita Sinrilik Makdik Daeng Rimakka pada kutipan berikut.

(1) Sallo-salloi sikekdek, mammen-temmi pole antapesangi soena, ampadakkai bangkenna, tulusukmi mange ri bangkenna sapanaya, na nabacamo doanganna, doangang patampuloa, napalampa doangang leleubundukna, aklumpakmi naik ri jaranna, battui naik ri jaranna, na nagenggomi balembeng sala la reppek, na ramma pangulu sala la tepok, na tenreng-tenreng pokena, nagalattak biberekna sala la tappuk, ana natempa barambang sala la keppok, ana nabannya pallagesang sala le tepok….

Terjemahan

(1) Tak seberapa lamanya berdiri lagi mengayunkan tangannya selangkahkan kakinya, teruslah pergi ke kaki tangga beranyam, maka dia bacalah doanya, doanya yang empat puluh, diucapkan doa perangnya, melompatlah dia ke atas kudanya, sampai di atas kudanya, maka dia goncanglah sarung kerisnya seolah-olah akan patah, dia ayunkan tombaknya, dia gigit bibirnya seolah-olah putus, dia tepuk dadanya seolah-olah akan kepik, dia tegangkan lengan bawahnya seolah-olah akan patah….

Setelah selesai membaca doa perang, I Makdik Daeng Rimakka menguatkan tekad dan niat dengan melakukan tindakan atau perbuatan dengan mengencangkan sarung kerisnya, mengayungkan tombaknya, menggigit bibirnya, dan menegangkan lengan bawahnya. Membaca doa dan mantra tidak hanya dilakukan kala ingin berperang, tetapi juga dilakukan saat hendak bepergian. Ketika I Manakkuk mau berlayar mengunjungi I Marabintang Kamase di tanah Lakbakkang, ia tidak lupa membekali diri dengan doa dan mantra. Hal ini terdapat dalam kutipan cerita Sinrilik I Manakku berikut.

(2) Na nabacamia naung kodong, doanganna sipak appaka, eranna patampuloa, nipamae ri sekrea….

Terjemahan

(2) Dia bacalah doa[nya] sifat yang empat, bawaan [ilmu] yang empat puluh, ditujukan [ditempatkan] kepada yang satu….

Sebagai seorang pemberani, perjalanan I Manakkuk tidak hanya dibekali dengan perlengkapan, seperti tombak, somrik (semacam keris), dan bedil, tetapi juga dibekali dengan doa dan mantra. Doa dan mantra yang dibacanya dilengkapi dan dipermantap dengan perilaku, seperti ia menggeggam sepuluh jarinya, menggenggam tangannya sebelah- menyebelah dan menggenggam kakinya sebelah-menyebelah. Setelah itu, ia lalu memasang cincin di jarinya dan memasang kalung di lehernya.

Sebelum menuju medan laga, para pemberani (tubarani) kerajaan tidak akan gegabah berangkat tanpa persiapan yang matang karena mereka khawatir menemui kegagalan kalau tidak melakukan persiapan fisik dan batin. Para pemberani memiliki kepercayaan tentang keampuhan doa dan mantra dalam menghadapi suatu pertarungan atau peperangan. Jadi, mereka tidak akan berangkat ke medan pertempuran kalau tidak membaca doa dan mantra sebagai ajian. Dalam cerita Sinrilik Kappala Tallu Batua, dikisahkan bagaimana persiapan yang dilakukan para pemberani kerajaan Gowa, seperti tergambar pada kutipan berikut.

(3) Naukrangi ngaseng tommi tarimana ri Gurunna sossoranna ri towana, appaka tenasisaklak, tallasak tenamatea. …

Terjemahan

(3) Diingatnyalah semua yang pernah diterima dari gurunya, ajaran dari kakeknya, appaka tenasisaklaktallasak tena mate [hidup takkan pernah mati].… [empat yang tidak pernah terpisahkan],

Dalam kutipan (3) tersebut digambarkan persiapan para pemberani sebagai pasukan terdepan Karaeng Tunisombaya. Mereka melakukan meditasi, mengingat ajian (mantra), menyatukan sifat kehidupan dalam dirinya, dan membaca ilmu kekebalan. Sesudah itu, mereka membaca doa dan mantra sebagaimana terdapat dalam kutipan (4). Para pemberani juga dibekali ajian yang diterima dari kakek atau leluhurnya. Ajian itu, antara lain terdapat pada kutipan berikut.

(4) Ratunna mappua­lia, tanabotowa lila, tanakakdoka kalengkeng, akgauk tanigauki, napannyombanga buaja salapang bawa binanga….

Terjemahan

(4) Rajanya yang berkata, ratunya yang menyahut, tidak tersentuh lidah, tidak termakan fitnah, bertindak tidak ditindaki, disembah oleh buaya di sembilan buah sungai…

Frase appaka tenasisaklak ‘empat yang tidak pernah terpisahkan’ bermakna bahwa ada empat sifat (istilah lain sipappa ‘sifat empat’) yang saling menyatu dalam diri manusia, yaitu sifat yang dimiliki oleh tanah, air, udara, dan api. Ada pula yang mengaitkan sifat empat dalam sistem arah mata angin, yaitu utara, selatan, timur, dan barat. Frase tallasak tena mate ‘hidup takkan pernah mati’ bermakna semangat dan keberanian tetap harus terpatri dalam jiwa dan batin.

Dalam rapang, Arung Matoa atau lebih dikenal dengan nama Matinroa ri Kananna pernah berwasiat kepada anaknya. Isi wasiat itu adalah sebagai berikut.

(5) … Naia antu nawa-nawaya patambuangi arenna: Uru-uruna, nawa-nawa pepek arenna; mkaruanna, nawa-nawa jeknek arena; makatalunna, nawa-nawa anging arena; makaappakna nawa-nawa butta arena. Naia nawa-nawa pepeka lompoi gaukna na tanacinika bokona, teai nisauruk ri sangkammanna iamami angkana kalenna annaba gaukna annaba tangarakna, lakbu nwa-nawana, barani. Naia nawa-nawa anginga, akgauk magassingi na taia lambusuk nakimbolong. Naia antu nawa-nawa buttaya lambusuki na manngasseng

Terjemahan

(5) … Cita-cita itu mempunyai empat nama: pertama, cita-cita api (nawa-nawa pepek); kedua, cita-cita air (nawa-nawa jeknek); ketiga, cita-cita angin (nawa-nawa anging); keempat, cita-cita tanah (nawa-nawa butta). Yang dimaksud dengan cita-cita api ialah banyak berbuat tetapi tidak memperhitungkan akibat-akibatnya; selalu ingin bersaing dan tidak mau kalah; hanya pandangan dan tindakannya saja yang dianggap benar sedangkan yang lainnya salah semua. Di samping itu, mempunyai sifat pemberani dan panjang perhitungan. Yang dimaksud dengan cita-cita air ialah mempunyai kecakapan tetapi tidak dilandasi dengan kejujuran. Yang dimaksud dengan cita-cita angin ialah banyak berbuat tetapi tidak didukung oleh sifat kejujuran. Sedangkan yang dimaksud dengan cita-cita tanah ialah memiliki sifat kejujuran tetapi tidak ditunjang oleh ilmu pengetahuan (kecakapan)

2. Tafsir Mimpi

Bagi masyarakat Makassar, mimpi tidak semata sebagai perhiasan tidur, tetapi dipercaya pula bahwa mimpi merupakan suatu pertanda baik atau buruk yang akan dialami oleh orang yang bermimpi. Masyarakat Makassar masih banyak yang percaya bahwa kalau seseorang bermimpi giginya tanggal semua, maka segala urusan atau pekerjaan yang dilakukan tidak akan berhasil. Begitu pula jika seorang bermimpi sedang memanjat bukit atau gunung, kalau berhasil mencapai puncak berarti semua urusan atau pekerjaan akan sukses. Sebaliknya, kalau jatuh atau terperosok masuk ke jurang berarti semua urusan atau pekerjaan akan gagal. Jika seorang dimangsa ular atau binatang buas lainnya, maka dipercayai sebagai pertanda orang itu akan ditimpa suatu musibah atau bakal mengalami kecelakaan.

Dari hasil identifikasi dan intepretasi cerita sinrilik, hanya teks cerita Sinrilik Makdik Daeng Rimakka yang mengekspresikan adanya kepercayaan terhadap mimpi. Hal tersebut dikemukakan dalam kutipan berikut.

(6) Nabangungammi ulunna ayana anrong kalenna. tanasakringami tukguruk jekne matanna, antuju matai Makdik Daeng Rimakka na nakana pakkananna, "La aklampa tojengko paleng angge, kodi-kodi nakke tinroku, kusoknai anne polong rua bu-bungangku, sasarak anrong tukakku, napakrukmungi kariuk tannga ballaku, napassakrai ronrong balu ganturoku.”

Terjemahan

(6) Ditegakkanlah kepalanya, ibunya bunda kandungnya, tidak terasalah menitik air matanya memandang I Makdik Daeng Rimakka, lalu berkata, "Sungguh engkau akan berangkat anak, sungguh jadi kemasanmu, saya ini anak, tidak enak tidurku, saya mimpikan patah dua bubunganku, rubuh induk tanggaku ditempati bersarang burung hantu, ditempati bersarang burung hantu tengah rumahku, ditempati berbunyi ronrong balu [nama semacam burung] susuran atapku, "

Kutipan (6) mengisahkan kerisauan hati ibunda I Makdik Daeng Rimakka terhadap mimpinya. Kata polong ‘patah’, sasarak ‘rubuh’, sakrak ‘bunyi’ merupakan pertanda akan datang suatu musibah atau bencana. Masyarakat Makassar masih mempercayai bahwa burung hantu erat kaitannya dengan kematian. Ketika pada malam hari, bertengger di atas bubungan rumah sembari berbunyi atau mengeluarkan suaranya dipercayai sebagai pertanda bahwa salah satu penghuni rumah yang ditempati bertengger burung hantu itu akan meninggal dunia. Dari kutipan (6), dapat ditafsirkan bahwa I Makdik Daeng Rimakka akan menemui ajalnya di medan laga. Pertanda itu diperkuat oleh mimpi I Mulli Daeng Massayang seperti tertera pada kutipan berikut.

(7) Nagilimmami kalenna I Mulli Daeng Massayang, nanakana pakkananna, "Inakke kodi tonji anne tinroku Makdik, tikring kucinikmi nisoklok akba siringku, mammanyuk taring, tanngaku, kucinik tongi tukguruk pannangarangku, pepu ngaseng rakba ngaseng.”…

Terjemahan

(7) Berbaliklah I Mulli Daeng Massayang yang lalu ia berkata, “Saya juga tidak baik tidurku Makdik, tiba-tiba saya lihat ditembus banjir kolong rumahku, hanyut tungku tengahku, kulihat juga jatuh gigi depanku, gugur semua, rebah semua." ….

Istri kesayangan I Makdik Daeng Rimakka juga bermimpi. Meski berbeda dengan konteks mimpi ibunda I Makdik Daeng Rimakka, I Mulli Daeng Massayang bermimpi buruk. Kata nisoklok ‘tembus’, mammanyuk ‘hanyut’, dan tukguruk ‘jatuh’ merupakan pertanda akan datang suatu musibah atau bencana. Sementara kata akba siring ‘kolong rumah’, taring tanga ‘tungku tengah’, dan pannangarang ‘gigi’ merupakan sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Rabu, 20 Februari 2008

Kebudayaan dan Arsitektur Bugis



Kebudayaan Bugis seringkali digabungkan dengan kebudayaan Makassar, lalu disebut kebudayaan Bugis-Makassar (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Kebudayaan tersebut mendiami bagian terbesar jasirah Selatan pulau Sulawesi, atau termasuk dalam propinsi Sulawesi Selatan. Penduduk propinsi Sulawesi Selatan sendiri terdiri dari empat suku yaitu: Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar.
Bardasarkan hasil penelitian etnologi, suku Bugis merupakan keturunan Melayu Muda (Deutro Melayu) yang berasal dari India Belakang. Mereka datang ke kepulauan Nusantara secara bergelombang. Gelombang pertama adalah Melayu Tua yang merupakan nenek moyang suku Toraja. Gelombang kedua, Melayu Muda merupakan nenek moyang suku Bugis, Mandar, dan Makasar.
Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.
Kampung kuno orang Bugis umumnya terdiri dari sejumlah keluarga, antara 10 sampai 200 rumah. Rumah-rumah tersebut biasanya berderet, menghadap Selatan atau Barat. Jika ada sungai, maka diusahakan agar rumah-rumah tersebut membelakangi sungai. Pusat dari kampung lama merupakan suatu tempat keramat (possi tama) dengan suatu pohon beringin yang besar, dan kadang-kadang dengan satu rumah pemujaan (saukang). Selain tempat keramat, suatu kampung umumnya juga memiliki langgar atau masjid.
Pola perkampungan orang Bugis umumnya adalah mengelompok padat dan menyebar. Pola mengelompok banyak terdapat di dataran rendah, dekat persawahan, pinggir laut, dan danau, sedangkan pola menyebar banyak terdapat di pegunungan atau perkebunan. Selain itu perkampungan orang Bugis juga dapat dibedakan berdasarkan tempat pekerjaan, yaitu:
1. Pallaon ruma (kampung petani)
2. Pakkaja (kampung nelayan)
3. Matowa (kepala kampung)
Selain pembagian berdasarkan tempat pekerjaan di atas, pada kampung Bugis juga terdapat pasar kampung, kuburan, dan masjid/mushala.
Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang sangat berkait dengan arsitektur. Pelapisan sosial tersebut antara lain adalah: Anakarung (bangsawan), to maradeka (rakyat biasa), dan ata (sahaya)


Berdasarkan lapisan sosial penghuninya, berdampak pada pola bentuk rumah yang disimbolkan berbeda-beda, yaitu:
1. Sao-raja (sallasa), adalah rumah besar yang didiami keluarga kaum bangsawan (Anakarung). Biasanya memiliki tiang dengan alas bertingkat di bagian bawah dan dengan atap di atasnya (sapana) yang memiliki bubungan bersusun tiga atau lebih,
2. Sao-piti’, bentuknya lebih kecil tanpa sapana, dan memiliki bubungan yang bersusun dua.
3. Bola, merupakan rumah bagi masyarakat umumnya.

Berdasarkan pola morfologinya, arsitektur Tradisional Bugis dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:


A. Pola Penataan Spatial
Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekat-sekat. Bentuk denah yang umum adalah rumah yang tertutup, tanpa serambi yang terbuka. Tangga depan biasanya di pinggir. Di depan tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah tersebut berada di bawah atap (Sumintardja, 1981). Selain itu rumah Bugis umumnya memiliki suatu ruang pengantar yang berupa lantai panggung di depan pintu masuk, yang dinamakan tamping. Biasanya tempat ini difungsikan sebagai ruang tunggu bagi para tamu sebelum dipersilakan masuk oleh tuan rumah.
Rumah Bugis juga dapat digolongkan menurut fungsinya (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Secara spatial vertikal dapat dikelompokkan dalam tiga bagian berikut:
1. Rakeang, bagian atas rumah di bawah atap, terdiri dari loteng dan atap rumah yang dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan pangan serta benda-benda pusaka. Selain itu karena letaknya agak tertutup sering pula digunakan untuk menenun dan berdandan.
2. Alo-bola (alle bola), terletak antara lantai dan loteng ruang dimana orang tinggal dan dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, tidur, makan,
3. Awaso, kolong rumah yang terletak di bagian bawah antara lantai dengan tanah atau bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan ternak.
Sedangkan penataan spatial secara horisontal, pembagian ruang yang dalam istilah Bugis disebut lontang (latte), dapat dikelompokkan dalam tiga bagian sebagai berikut :
1. Lontang risaliweng (ruang depan), Sifat ruang semi private, berfungsi sebagai tempat menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Ruang ini adalah ruang tempat berkomunikasi dengan orang luar yang sudah diijinkan untuk masuk. Sebelum memasuki ruang ini orang luar diterima lebih dahulu di ruang transisi (tamping).
2. Lontang retengngah (latte retengngah) atau ruang tengah. Sifat ruang private, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan, melahirkan. Pada ruang ini sifat kekeluargaan dan kegiatan informal dalam keluarga amat menonjol.
3. Lontang rilaleng (latte rilaleng), sifat sangat private. Fungsi ruang ini untuk tempat tidur anak gadis atau nenek/kakek. Anggota keluarga ini dianggap sebagai orang yang perlu perlindungan dari seluruh keluarga.

Untuk Sao raja, ada tambahan dua ruangan lagi:
1. Lego-lego
Ruang tambahan, jika di depan difungsikan sebagai tempat sandaran, tempat duduk tamu sebelum masuk, tempat menonton ada acara di luar rumah.

2. Dapureng (jonghe)
Biasanya diletakkan di belakang atau samping. Fungsinya untuk memasak dan menyimpan peralatan masak

B. Pola Penataan Stilistika
1. Atap
Penampakan bangunan tersusun dari tiga bagian sesuai dengan fungsinya. Bagian atas (rakeang) baik untuk rumah bangsawan (Sao raja) maupun rumah rakyat biasa (Bola), terdiri dari loteng dan atap. Atap berbentuk prisma, memakai tutup bubungan yang disebut Timpak Laja. Timpak laja memiliki bentuk yang berbeda antara sao raja dan bola. Bagian ini diibaratkan sebagai kepala bangunan. Pada sao raja terdapat timpak laja yang bertingkat-tingkat antara tiga sampai lima. Timpak laja yang bertingkat lima menandakan rumah tersebut kepunyaan bangsawan tinggi. Timpak laja bertingkat empat, adalah milik bangsawan yang memegang kekuasaan dan jabatan-jabatan tertentu. Bagi bangsawan yang tidak memiliki jabatan pemerintahan timpak lajanya hanya bertingkat tiga.
Rakyat biasa yang diklasifikasikan ke dalam kelompok to maradeka dapat juga memakai timpak laja pada atap rumahnya, tetapi hanya dibenarkan membuat maksimal dua tingkatan timpak laja.

2. Bukaan
Dinding terbuat dari kayu yang disusun secara Salah satu bukaan yang terdapat pada dinding depan ialah pintu (babang/tange). Fungsinya adalah untuk jalan keluar/masuk rumah. Tempat pintu biasanya selalu diletakkan pada bilangan ukuran genap, misalnya ukuran rumah 7 (tujuh depa) maka pintu harus diletakkan pada depa yang ke 6 (enam) atau ke 4 (empat) diukur dari kanan rumah. Bila penempatan pintu ini tidak tepat pada bilangan genap, dapat menyebabkan rumah mudah untuk dimasuki pencuri atau penjahat.
Bukaan lain adalah jendela (tellongeng). Fungsinya adalah bukaan pada dinding yang sengaja dibuat untuk melihat keluar rumah dan juga berfungsi sebagai ventilasi udara ke dalam ruangan. Peletakannya biasanya pada dinding diantara dua tiang. Pada bagian bawahnya biasanya diberi tali atau penghalang (Sumintardja, 1981). Untuk memperindah biasanya ditambahkan hiasan berupa ukiran sebagai hiasan atau terali dari kayu dengan jumlah bilangan ganjil. Jumlah terali dapat menunjukkan status penghuninya. Jika jumlah terali 3-5 menunjuukan rakyat biasa dan jika 7-9 menunjukkan rumah bangsawan.

3. Ragam Hias
Ragam hias bangunan arsitektur Bugis umumnya bersumber dari alam sekitar, biasanya berupa flora, fauna dan tulisan huruf Arab atau kaligrafi.
Ragam hias flora biasanya berupa bunga parengreng yang berarti bunga yang menarik. Bunga ini hidupnya menjalar berupa sulur-sulur yang tidak ada putus-putusnya. Biasanya ditempatkan pada papan jendela, induk tangga dan tutup bubungan. Makna bunga parengreng ini diibaratkan sebagai rezeki yang tidak terputus seperti menjalarnya bunga parengreng.
Ragam hias fauna biasanya berupa ayam jantan, kepala kerbau dan bentuk ular naga. Ayam jantan dalam bahasa Bugis disebut manuk yang berarti baik-baik. Selain itu juga sebagai simbol keberanian. Biasanya ditempatkan di puncak bubungan rumah bagian depan atau belakang
Ragam hias kepala kerbau melambangkan kekayaan dan status sosial. Biasanya ditempatkan pada pucuk depan atau belakang bubungan untuk rumah bangsawan.
Ragam hias naga atau ular besar melambangkan kekuatan yang dahsyat. Biasanya ditempatkan pada pucuk bubungan atau induk tangga.
Ragam hias yang berupa kaligrafi dan bulan sabit biasanya ditempatkan pada bangunan peribadatan atau masjid.
Ragam hias flora yang berupa sulur-sulur bunga yang menjalar biasanya menggunakan teknik pahat tiga dimensi yang membentuk lobang terawang. Bentuk demikian selain makin menampakkan keindahan karena adanya efek pencahayaan yang dibiaskan juga dapat menyalurkan angin dengan baik.

C. Pola Penataan Struktur
Bahan bangunan utama yang banyak digunakan umumnya kayu. Bahan bangunan yang biasanya digunakan : Kayu Bitti, Ipi, Amar, Cendana, Tippulu, Durian, Nangka, Besi, Lontar, Kelapa, Batang Enau, Pinang, Ilalang dan Ijuk.
Dinding dari anyaman bambu atau papan. Atap dari daun nipah, sirap atau seng. Sistem struktur menggunakan rumah panggung dengan menggunakan tiang penyangga dan tidak menggunakan pondasi. Rumah tradisional yang paling tua, tiang penyangganya langsung ditanam dalam tanah. Tahap yang paling penting dalam sistem struktur bangunan adalah pembuatan tiang (aliri). Pembuatan tiang dimulai dengan membuat posi bola (tiang pusat rumah). Bila rumah terdiri dari dua petak maka letak tiang pusat ialah pada baris kedua dari depan dan baris kedua dari samping kanan. Bila tiga petak atau lebih maka letak tiang pusat adalah baris ketiga dari depan dan baris kedua dari samping kanan.
Secara terinci ciri-ciri struktur rumah orang Bugis antara lain adalah:
1. Minimal memiliki empat petak atau 25 kolom (lima-lima) untuk sao-raja dan tiga petak atau 16 kolom (untuk bola)
2. Bentuk kolom adalah bulat untuk bangsawan, segiempat dan segidelapan untuk orang biasa
3. Terdapat pusat rumah yang disebut di Pocci (posi bola) berupa tiang yang paling penting dalam sebuah rumah, biasanya terbuat dari kayu nangka atau durian; letaknya pada deretan kolom kedua dari depan, dan kedua dari samping kanan.
4. Tangga diletakkan di depan atau belakang, dengan ciri-ciri:
Dipasang di ale bola atau di lego-lego.
Arahnya ada yang sesuai dengan panjang rumah atau sesuai dengan lebar rumah.
5. Atap berbentuk segitiga sama kaki yang digunakan untuk menutup bagian muka atau bagaian belakang rumah
6. Lantai (dapara/salima) menurut bentuknya bisa rata dan tidak rata. Bahan yang digunakan adalah papan atau bamboo.
7. Dinding (renring/rinring) terbuat dari kulit kayu, daun rumbia, atau bambu.
8. Jendela (tellongeng) jumlahnya tiga untuk rakyat biasa, tujuh untuk bangsawan
9. Pintu (tange sumpang) diyakini jika salah meletakkan dapat tertimpa bencana, sehingga diletakkan dengan cara sebagai berikut:
Jika lebar rumah sembilan depa, maka pintu diposisikan pada depa ke-8; artinya lebar rumah selelu ganjil dan pintu diletakan pada angka genap.

Akulturasi
Akulturasi dipahami sebagai fenomena yang akan terjadi tatkala kelompok-kelompok individu yang memiliki budaya berbeda terlibat dalam kontrak yang berlangsung secara tangan pertama (langsung), disertai perubahan terus – menerus, sejalan pola-pola budaya asal dari kelompok itu atau dari kedua kelompok itu.
Menurut Koentjaraningrat (1996) akulturasi adalah istilah antropologi yang memiliki beberapa makna, yang kesemuanya itu mencakup konsep mengenai proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan sesuatu kebudayaan tertentu dihadapkan kepada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu. Unsur kebudayaan tidak pernah didifusikan secara terpisah, melainkan senantiasa dalam suatu gabungan atau kompleks yang terpadu.
Akulturasi budaya dalam arsitektur tidak dapat dielakkan dan pasti terjadi. Bentuk dan fungsi adalah dialektika yang terus-menerus saling tarik menarik di tangah kondisi sosial- budaya masyarakatnya. Dan arsitektur bukan semata-mata desain tetapi juga elemen non desain yang dapat menggeser dan menggantikan sedemikian rupa setiap fakta budaya yang sedang berlangsung. Perubahan bentuk dan fungsi dalam arsitektur dapat terjadi melalui elemen budaya: teknologi, ekonomi, sosio ideologi dan aliran apapun yang berkeliaran dan mampu menguasai gagasan, cara pandang dan jiwa masyarakat dalam jamannya. Namun demikian pada akhirnya bentuk dan fungsi dalam arsitektur yang muncul adalah pengalaman rasa yang diminati dan diyakini manfaatnya oleh sekelompok masyarakatnya secara komunal. Setiap perubahan yang terjadi, bagaimana pun tidak akan pernah begitu saja merubah cara hidup, respon dan persentuhan manusia dengan lingkungannya ketika kekuatan-kekuatan psikis yang dimiliki masih melekat dengan rona budaya sebelumnya.